[quote]
Pada akhir zaman Kamakura, orang Jepang mengenal makanan praktis berupa nasi yang ditanak dan dikeringkan. Makanan ini disebut hoshi-ii (nasi kering) dan dibawa di dalam tas kecil. Hoshi-ii bisa dimakan begitu saja, atau direbus di dalam air sebelum dimakan. Di zaman Azuchi Momoyama (1568-1600), orang sudah mulai senang makan di luar, dan kotak kayu yang dipernis digunakan sebagai wadah membawa makanan. Bent mulai dikenal sebagai makanan praktis dalam kesempatan hanami atau upacara minum teh.
Pada zaman Edo (1603-1867), kebudayaan bent semakin meluas di kalangan rakyat banyak. Orang yang bepergian atau berwisata membawa makanan praktis yang disebut koshibent (bent di pinggang). Isinya beberapa onigiri yang dibungkus daun bambu, atau nasi di dalam kemasan kotak beranyam dari bambu yang diikatkan di pinggang. Salah satu jenis bent yang disebut makunouchi bent populer di kalangan rakyat yang menonton pertunjukan noh dan kabuki. Bent dimakan sewaktu pergantian layar panggung (maku) sehingga dinamakan makunouchi bent. Di zaman Edo, cara memasak, mengemas, dan menyiapkan bent untuk kesempatan hanami dan hinamatsuri sudah diterbitkan dalam buku resep masakan.
Penjualan paket nasi yang disebut ekiben ( ,bent stasiun?) dimulai sejak zaman Meiji. Ekiben dimaksudkan untuk dinikmati di atas kereta, dan sering merupakan hidangan khas dari daerah tempat stasiun kereta api tersebut berada. Stasiun KA Utsunomiya (Prefektur Ibaraki) merupakan salah satu stasiun yang mengklaim sebagai penjual ekiben yang pertama. Pada 16 Juli 1885, di Stasiun KA Utsunomiya dijual ekiben berupa dua buah onigiri berisi umeboshi dan potongan asinan lobak (takuan) dengan pembungkus daun bambu.[2] Bekal bent yang dibawa murid dan guru juga mulai populer di zaman Meiji. Jam pelajaran baru selesai di petang hari, dan sekolah-sekolah belum memiliki dapur dan kafetaria yang menyediakan makan siang. Selain bent berisi nasi, penjual bent juga mulai menyediakan bent ala Eropa berisi sandwich.
Pada zaman Taisho (1912 - 1926), perbedaan kaya-miskin yang tajam seusai Perang Dunia I menimbulkan gerakan sosial untuk menghentikan kebiasaan membawa bent ke sekolah. Bent dituduh sebagai sarana pamer kekayaan bagi anak orang berada yang mampu membawa nasi ke sekolah.
Pada awal zaman Showa, kotak dari aluminum untuk membawa bento sangat digemari orang Jepang dan merupakan barang mewah. Setelah Perang Dunia II, tradisi membawa bent secara berangsur-angsur hilang sejalan dengan semakin banyaknya sekolah yang menyediakan ransum makan siang.
Bent kembali populer di tahun 1980-an setelah dikenal kemasan kotak plastik polistirena sekali pakai, oven microwave, dan semakin meluasnya toko kelontong 24 jam. Sementara itu, bent buatan ibu kembali mulai digemari, dan tradisi membawa bent dari rumah hidup kembali. Keahlian menyiapkan bent untuk anak-anak merupakan kebanggaan tersendiri bagi ibu rumah tangga. Lauk seperti sosis dan nori dipotong-potong atau digunting untuk dijadikan hiasan, seperti daun, bunga, binatang, hingga karakter anime.